Visi besar Presiden Prabowo Subianto dalam membangun Indonesia yang berdaulat dan produktif hanya bisa terwujud bila manusia kerjanya terlindungi. Di lapangan, risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja masih menghantui banyak sektor. Padahal, peta risiko menjadi kunci untuk memastikan produktivitas nasional tak bocor di jalan. Namun, implementasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di tanah air masih terseok, jauh dari cita-cita “Zero Accident”.

Jakarta, katigamagz.com – Menteri Ketenagakerjaan pernah mengungkapkan rendahnya jumlah perusahaan yang menerapkan Sistem Manajemen K3 (SMK3). Padahal, penerapan sistem itu bukan hanya soal keselamatan, tapi juga efisiensi. “Kalau output-nya nihil kecelakaan, berarti produktivitas meningkat,” kata Saut Siahaan, ahli K3 nasional yang kerap menjadi rujukan pemerintah.
Menurut Saut, penerapan K3 tak bisa dilepaskan dari Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. “Apakah data K3 kita sudah mencerminkan peta risiko yang akurat?” tanyanya retoris. Ia menyoroti lemahnya data nasional karena sebagian besar hanya bersumber dari BPJS Ketenagakerjaan, padahal banyak pekerja belum menjadi peserta.
Saut mendorong percepatan revisi menyeluruh UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yang dinilainya sudah ketinggalan zaman. “Substansinya kuat, tapi banyak pasal tak lagi relevan dengan kondisi industri saat ini,” ujarnya. Lebih jauh, ia menekankan pentingnya ratifikasi Konvensi ILO Nomor 155 Tahun 1981 agar Indonesia memiliki arah dan kebijakan nasional K3 yang tegas.
“Di seluruh dunia, K3 itu berada di bawah kendali Kementerian Ketenagakerjaan. Jadi pemetaannya harus jelas — ahli K3 ada di mana, siapa induknya, jangan tumpang tindih,” tegas Saut. Saat ini, terdapat berbagai sertifikasi K3 — dari migas, konstruksi hingga BNSP — namun belum ada integrasi hukum dan kelembagaan yang solid.
Data ILO mencatat 2,9 juta pekerja meninggal setiap tahun akibat kecelakaan kerja di seluruh dunia. Saut menegaskan, setiap kecelakaan memiliki nilai kehilangan. “Satu pekerja meninggal berarti kehilangan 6.000 hari kerja atau setara 20 tahun produktivitas,” ujarnya. Perhitungan itu bersumber dari Permenaker Nomor 03 Tahun 1998 yang merujuk pada standar ANSI (American National Standard Institute).
Berdasarkan aturan tersebut, BPJS Ketenagakerjaan menggunakan acuan 48 kali upah sebagai santunan bagi ahli waris. Namun Saut mengingatkan, nilai itu bukan representasi kerugian riil. “Kalau perusahaan tidak ikut BPJS, siapa yang menanggung? Akhirnya muncul persepsi pemerintah tidak hadir,” katanya.
Bagi Saut, aturan kehilangan 6.000 hari kerja memang terkesan tak realistis bagi banyak perusahaan. Tapi substansi di baliknya adalah urgensi pelaporan dan pendataan akurat. “Tanpa data kecelakaan yang benar, kita tidak punya dasar untuk menentukan tingkat risiko dan kebijakan kompensasi,” tegasnya.
Realitas di lapangan menunjukkan, pelaporan kecelakaan kerja masih minim dan parsial. Banyak perusahaan enggan melapor karena takut kehilangan reputasi dan gagal meraih penghargaan Zero Accident. Pengawasan pun lemah — jumlah pengawas terbatas, disiplin rendah, dan banyak daerah kekurangan tenaga bersertifikat.
Saut mengingatkan, kepala daerah memiliki tanggung jawab moral dan struktural. “Mereka pengguna anggaran proyek konstruksi dan infrastruktur publik. Kalau kepala daerahnya paham budaya K3, efek produktivitas daerah akan langsung terasa,” ujarnya. K3, katanya, bukan beban biaya, tapi investasi jangka panjang.
Sebagai pakar yang juga terlibat dalam ISO 45000 Series dan pengajar di berbagai perguruan tinggi, Saut menggarisbawahi pentingnya anggaran K3. “Biaya implementasi SMK3 jauh lebih kecil dibandingkan kerugian moral dan material akibat kecelakaan,” tegasnya. Ia bahkan menyebut angka ideal: industri konstruksi 2–5%, manufaktur 1–3%, pertambangan 3–6%, dan jasa 0,5–2% dari total anggaran.
Namun, komitmen ini belum sepenuhnya berjalan. ILO mencatat, kehilangan produktivitas akibat kecelakaan kerja mencapai 5,4% GDP global per tahun. Dengan GDP Indonesia tahun 2024 sebesar USD1.396 triliun, potensi kehilangan produktivitas akibat kecelakaan bisa mencapai puluhan miliar dolar setiap tahun — angka yang mestinya cukup mengguncang kesadaran publik dan pembuat kebijakan.
Saut menegaskan, kunci peningkatan produktivitas nasional ada pada kepatuhan dan konsistensi pelaksanaan SMK3. “K3 bukan sekadar regulasi, tapi cara berpikir,” ujarnya. Ia menilai, pemerintah perlu memperkuat tata kelola data, mempercepat revisi UU, memperluas partisipasi pekerja, dan menjadikan pelaporan kecelakaan sebagai indikator transparansi publik.
“Kalau kita serius memetakan risiko, maka kita juga serius menjaga produktivitas nasional,” pungkas Saut Siahaan.
									