Pengendalian Dampak Lingkungan Akibat Pertambangan

Lahan terbuka memiliki akses secara terbuka bagi pihak lain untuk memanfaatkan secara ilegal, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Lahan akses terbuka tersebut antara lain banyak dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan illegal yang menimbulkan dampak terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Jakarta, katigamagz.com – Pada saat ini banyak kegiatan pertambangan emas tanpa izin (PETI) atau pertambangan illegal yang dilaksanan masyarakat di mana-mana. Kegiatan PETI pada umumnya tidak mempedulikan dampaknya terhadap lingkungan sehingga kegiatan tersebut banyak menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Pemerintah menyadari bahwa kegiatan PETI harus dikendalikan sehingga dampaknya berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat dihindari. Pada tanggal 7 Desember 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) dan Deklarasi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan. Acara yang dilaksanakan di Jakarta dihadiri sejumlah kementerian, pemerintah daerah, kalangan akademisi dan perwakilan perusahaan ini menekankan perlunya pengendalian kegiatan PETI yang selama ini banyak menimbulkan masalah terhadap lingkungan.

Kegiatan PETI selama ini banyak diusahakan di lahan akses terbuka sehingga pengawasannya tidak mudah dilakukan. Lahan akses terbuka adalah lahan yang memiliki akses secara terbuka bagi pihak lain untuk memanfaatkan secara ilegal, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Akses terbuka terjadi karena pengawasan yang tidak memadai atau bahkan adanya pembiaran dari berbagai pihak.

Pada saat ini terdapat ribuan lokasi PETI dan melibatkan sekitar 2 juta penambang. Pada bulan September-Oktober 2015, KLHK telah melakukan verifikasi lapangan terhadap 302 lokasi. Dari hasil verifikasi ini diperoleh data jenis tambang emas sebanyak 22%, sirtu (13%), pasir kuarsa (9%), batu, tanah dan timah (masing-masing 8%), pasir dan pasir urug (masing-masing 7%), batu gamping (6%), granit dan batu kuarsa (masing-masing 3%), serta lainnya (6%). Verifikasi dilakukan di 31 propinsi, analisa data sementara 302 lokasi yang terdiri 225 PETI, 40 lokasi IUP, dan 8 lokasi IPR.

Data selanjutnya antara lain menyebutkan peralatan tambang berupa peralatan mekanik (57%) dan peralatan manual (43%). Metode penambangan terbuka (76%), penambangan dalam/bawah tanah (15%) dan penambangan bawah air (9%). Status lahan berupa hutan konservasi (2%), hutan lindung (9%), hutan produksi (6%), tanah negara lainnya (31%) dan hak milik (52%). Aktivitas penambangan menimbulkan kecelakaan kerja berupa korban jiwa (23 lokasi) dan cacat (11 lokasi) serta menimbulkan konflik sosial (84 lokasi).

Pengawasan dan Pengendalian

Di beberapa daerah kegiatan PETI telah menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, konflik sosial dan bahkan korban jiwa. Untuk mendorong pejabat yang berwenang melakukan pengawasan, dari data verifikasi lapangan KLHK membangun basis data dan Sistem Informasi Lahan Akses Terbuka (SILAT). Dengan sistem informasi ini diharapkan pemerintah daerah atau stakeholder lainnya dapat memberikan input mengenai lokasi PETI atau kejadian pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan.

Dalam konteks keadilan untuk usaha dan/atau kegiatan di sektor pertambangan, khususnya bagi kegiatan pertambangan yang dilaksanakan oleh masyarakat, perlunya pembinaan dan fasilitasi dari pemerintah dan pemerintah daerah sebagai wujud kehadiran Negara. KLHK bersama-sama dengan kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, pelaku usaha dan lembaga swadaya masyarakat membangun komitmen bersama melalui  Deklarasi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan. Melalui deklarasi ini diharapkan melalui isu pencemaran dan kerusakan lingkungan yang merupakan kewenangan bersama antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperkuat kembali kondisi paska penetapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana kewenangan di bidang energi dan sumber daya mineral menjadi kewenangan pemerintah dan pemerintah provinsi.

Komitmen bersama tersebut, selanjutnya diaktualisasikan melalui penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan. Upaya menjaring informasi mengenai kondisi, permasalahan, kebijakan dan kegiatan saat ini serta kebutuhan mendatang, telah dilakukan melalui rapat kerja ekoregion di Jawa, Kalimantan dan Papua, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku serta Sumatera.

Dari proses penjaringan tersebut selanjutnya dirumuskan ruang lingkup aksi yang meliputi: (1) Penyusunan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk pelaksanaan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, (2) Tata kelola terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan yang sedang terjadi, (3) Pemulihan lahan akses terbuka yang rusak dan/atau cemar berat, (4) Kerangka hukum, pengembangan peraturan dan kebijakan, (5) Pelembagaan dan peningkatan kemampuan SDM.

Untuk memulai aksi tersebut, saat ini KLHK melakukan proses pelembagaan sosial “pelaku penambangan” di Singkawang (tambang emas), Paser (tambang emas), Boyolali (tanah urug) dan Bogor (tambang emas) bekerjasama dengan Fakultas Fisipol UGM. Sedangkan untuk upaya pemulihan dilakukan penyusunan Detail Engineering Design (DED) di Singkawang, Paser dan Gunungkidul (tambang batugamping).

Mewujudkan Green Mining

Melihat pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat pelaksanaan penambangan terjadi di mana-mana maka harus diwujudkan green mining. Tambang hijau atau green mining merupakan upaya penambangan yang ramah lingkungan. Upaya ini dilakukan dengan pengendalian dampak lingkungan akibat penambangan, mengatasi pencemaran lingkungan serta mengatasi dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan. Pada tahap akhir setelah penambangan dilakukan upaya penghijauan kembali sehingga lahan bekas penambangan kembali dipenuhi vegetasi yang bermanfaat bagi kehidupan.

Upaya rehabilitasi dan reklamasi areal bekas penambangan seharusnya tidak hanya dilakukan oleh perusahaan penambangan tetapi juga harus dilakukan oleh pertambangan rakyat di lahan akses terbuka. Untuk melibatkan masyarakat pelaku pertambangan rakyat dalam memperbaiki lahan pertambangan dari pencemaran dan kerusakan lingkungan memang diperlukan peranan yang dominan dari pemerintah daerah. Kehadiran pemerintah daerah sangat diperlukan untuk mengawasi pelaksanaan pertambangan rakyat agar sesuai dengan kaidah ramah lingkungan, tidak mencemari lingkungan dan tidak merusak lingkungan.

Pertambangan rakyat seharusnya diarahkan agar tidak hanya mengupayakan aspek ekonomi, tetapi juga memperhatikan aspek lingkungan dan aspek sosial. Ketiga aspek yang menjadi pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan tersebut harus menjadi perhatian yang seimbang oleh pelaku usaha pertambangan rakyat.

Selama ini pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan masih terjadi di mana-mana. Potensi dampak penting terhadap lingkungan dari usaha pertambangan antara lain merubah bentang alam, ekologi dan hidrologi. Kegiatan usaha pertambangan juga akan memberikan dampak penting terhadap kualitas udara, kebisingan, getaran apabila menggunakan peledak, serta dampak dari limbah cair yang dihasilkan.

Selain hal di atas, ada beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian agar kegiatan pertambangan menjadi ramah lingkungan. Pertama, kegiatan pertambangan harus dapat mengelola sumber daya alam dengan baik dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kedua, kegiatan pertambangan perlu dilakukan dengan meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.

Ketiga, kegiatan pertambangan perlu mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Keempat, kegiatan pertambangan perlu menerapkan indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat pulih.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *