Body Text Opini

Jakarta, katigamagz.com – Indonesia diukir oleh perjalanan sejarah yang cukup panjang. Ditempa berbagai peristiwa kemanusiaan dan terinjak-injak peradaban melewati penindasan kaum penjajah. Melalui semangat mewujudkan bangsa yang berdaulat, perjuangan fisik dan diplomasi berhasil melepaskan diri dari kaum tirani–yang dalam konteks kemanusiaan sebagai kaum yang tidak beradab. Berbagai peristiwa pengingkaran atas bangsa berdaulat dan kemanusiaan ini telah mengantarkan manusia pada tindakan tidak beradab.

Sepertinya peristiwa-peristiwa kemanusiaan itu hingga saat ini masih terus ada di sekitar kita, bermetamorfose dalam berbagai bentuk. Nyawa manusia dengan berbagai persoalannya dipandang sebagai hal biasa, tanpa makna. Pranata sosial yang telah dibangun, berkembang melalui perjalanan budaya dan pendekatan agama diharapkan menjadi piranti sosial yang mampu menjadi pencerah dan pengendali, toh masih banyak kita jumpai tindakan tak beradab.

Hal kecil yang kita jumpai ketika melihat kekerasan yang dilandasi ketidakadilan, maka kita sering bergumam, ‘dasar manusia tak beradab’. Artinya obyek peradaban adalah manusia. Jadi, manusialah yang membentuk peradaban dari waktu ke waktu. Membentuk tatanan sosial dalam konteks ideologi, politik, sosial dan budaya yang berkembang sesuai zamannya. Cara manusia memaknai sebuah persoalan kemanusiaan, atau tingkat kemajuan dalam hal kecerdasan, budaya, budi bahasa pada suatu bangsa. Itulah peradaban.

Coba kita flash back sedikit mengenai sejarah peradaban. Perkembangan peradaban terbagi menjadi 3 periode peradaban yaitu periode klasik, pertengahan dan modern. Periode klasik dimulai pada zaman kebudayaan Yunani dan berakhir pada abad ke 5 masehi. Periode pertengahan dimulai sejak abad ke 6 masehi sampai abad ke 15 masehi, yaitu ketika Romawi Timur atau Byzantium runtuh. Sedangkan periode modern dimulai sejak abad 16 sampai sekarang.

Dari ketiga periode peradaban telah membawa banyak perubahan ke arah berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan kehidupan bermasyarakat. Cara pandang atau berpikir seseorang–di era periode abad tersebut berpengaruh pada tingkah laku, maka terbentuklah sebuah peradaban.

Negara dan Kemanusiaan

Dalam konteks Negara, peradaban sangat dipengaruhi oleh daya nalar seorang pemimpin ketika memandang peristiwa sosial kemanusiaan. Cara pandang itu di wujudkan dalam berbagai tindakan dan kebijakan. Pada simpul ini, tindakaan itu sudah sesuai atau belum dengan nilai-nilai universal peradaban dunia atau dengan istilah lain peradaban zaman sekarang.

Lagi-lagi, penulis mengangangkat peristiwa kecelakaan tambang bawah tanah di Chili yang menghebohkan itu dan bagaimana sikap simpatik Negara di bawah presiden Sebastian Pinera waktu itu. Lalu, bandingkan dengan peristiwa sama yang menimpa pekerja Suleman Latif dan Yani GLN Mailangkay di Gosowong Kepulauan Halmahera, atau yang lainnya.

Di Chili, peristiwa ini mengundang perhatian sang Presiden, dan langsung turun ke lokasi sambil berkomitmen menyelamatkan para pekerja, berapapun biayanya. Melihat pemimpin negara seperti itu, rakyat Chili dan dunia menaruh perhatian besar. Pers pun merasa perlu untuk terus menerus memublikasikan peristiwa kemanusiaan ini. Peristiwa Chili telah memberi sebuah label bahwa Negara ini peradabannya sudah bisa diukur, atau bisa dikatakan peradaban di era sekarang atau mungkin sebuah kemajuan peradaban.

Nyawa dan kehidupan, bagi sebagian orang/kelompok dianggap sebagai anugerah yang harus dihormati dan dihargai. Sebagian lagi menganggap tidak begitu, terutama nyawa atau kehidupan orang lain. Tapi, di era sekarang, banyak peristiwa kemanusiaan seperti gempa, banjir dan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh, solidaritas rakyat Indonesia begitu tinggi. Artinya, unsur simpati dan empati rakyat atas penderitaan kecelakaan massal manusia terlihat nyata. Seperti ada magnet besar yang menarik jutaan orang merogoh sakunya, meluangkan waktu atau tenaganya untuk kemanusiaan.

Apa yang dilakukan oleh rakyat dan bangsa ini –terlepas dari sisi baiknya– adalah bersifat corrective action. Jadi, berbuat setelah ada musibah atau kecelakaan. Bagaimana dengan tindakan atau pemahaman mengenai ‘sebelum kejadian’ atau preventive action-nya. Lalu ketika ada data kecelakaan, baca kecelakaan kerja dan kematian, yang begitu tinggi, kita ada di mana? Negara ada di mana?

Dalam konteks Negara, pelaksanaan K3 oleh lembaga pekerja internasional ILO (International Labour Organization) pernah memberi peringkat Indonesia ke 52 dari 53 negara yang disurvei. Tentu posisi tersebut bukan pertanda yang baik, tapi buruk atau sangat buruk. Lalu, ketika ini diekspose ke Negara-negara lain, reaksi bangsa ini hampir tak terdengar. Tidak terdengar ada upaya gerakan perbaikan nyata. Padahal, tidak perlu dengan biaya besar atau usaha besar, hanya simpel saja: pemerintah tertinggi –sebut presiden– melakukan jumpa pers dan menyampaikan komitmen perbaikan.

Sekali lagi, datangnya harus dari pemerintah tertinggi. Mengapa? Ini persoalan nyawa rakyatnya, kelangsungan hidup, rasa kemanusiaan, nurani keadilan, budaya dan peradaban bangsa. Siapa yang akan tertarik kalau yang bicara hanya seorang dirjen atau menteri.

Peristiwa kemanusiaan bidang kecelakaan di Indonesia, cukup memprihatinkan. Untuk aspek ketenagakerjaan, Jamsostek yang menghimpun anggota pekerja sebanyak 9,4 juta lebih (2011), merilis bahwa setiap hari pekerja yang meninggal melalui klaim asuransi sebanyak 8-9 orang. Sementara kecelakaan kerja mencapai 278 setiap hari. Lalu, berapa jumlah pekerja di Indonesia? Ada 32 jutaan (2011), itu artinya untuk mendapatkan jumlah secara nasional, data itu harus dikalikan tiga lagi! Artinya, dari sisi hakekat kemanusiaan, kalau kita menjunjung harkat hidup orang, maka data ini sangat memprihatinkan. Belum lagi kecelakaan di masyarakat umum. Seperti tak ada habis-habisnya kecelakaan itu melanda rakyat ini.

Pengingkaran Sebuah Nilai

Mungkin ada yang beranggapan bahwa kecelakaan itu  ‘kan disebabkan manusianya yang tidak hati-hati dalam melakukan aktivitas. Lebih-lebih, dipercaya karena takdir. Akhirnya, pun sah-sah saja jika Negara merasa tidak berkepentingan atas sikap ‘sembrono’ yang dilakukan rakyatnya. Dan, label atas kecelakaan yang tinggi di Indonesia oleh ILO tidak cukup ampuh untuk menggerakkan bangsa ini berbuat banyak dalam melindungi warganya. Paling tidak, menaikkan peringkatnya menjadi lebih rendah. Jadi, boleh dikatakan, semakin menakutkan potensi Negara dengan tingkat peradabannya.

Pembiaran atas kecelakaan yang terjadi adalah pengingkaran atas nilai peradaban itu sendiri. Jadi penulis lebih cenderung menilai keberadaban bangsa ini telah ‘tercoreng’ karena upaya nyata dari Negara tidak maksimal.

Tentang sebuah nyawa, seorang sahabat yang bekerja sebagai manager K3, bercerita bahwa ada seorang pekerja tiba-tiba menemuinya dan mengatakan sebuah kalimat, “Penghargaan tertinggi dalam hidup saya adalah saya bisa melakukan aktivitas pekerjaan dengan selamat sampai sekarang……”  Sahabat pun tak kuasa menahan haru, pernyataan ini sangat menyentuh. Upaya yang dilakukannya pada para pekerja dan lingkungan selama ini telah melahirkan ungkapan jujur dari seorang pekerja biasa. Secara sadar, penuh ketulusan, sang pekerja ini mengungkapkan kata-kata itu yang sebagian orang menganggap bahwa selamat sebagai sesuatu yang biasa dan dimiliki oleh banyak orang. Baginya selamat adalah anugerah tak ternilai!

Coba kita bayangkan, kalau kisah ini adalah sebuah miniatur dari kisah bangsa. Di mana atas peran sebuah negara, rakyat menyatakan —dengan penuh kesadaran— bahwa, baginya penghargaan tertinggi adalah selamat. Sehingga sejalan dengan apa yang dikatakan almarhum Muji Handaya Dirjen Binwasnaker Kemenakertrans (2011) bahwa negara-negara lain yang peduli K3, tipikal masyarakatnya lebih disiplin pada aturan, santun, hati-hati dan lebih menghargai nyawa diri sendiri dan orang lain.

Peran Eksekutif dan Legislatif

Budaya selamat menuju masyarakat yang beradab adalah nilai-nilai universal yang harus dijalankan oleh suatu bangsa. Dibutuhkan kesadaran bersama, eksekutif dan legislatif. Bahwa dalam upaya mencegah selalu ada tenaga dan biaya adalah sebuah fakta. Seperti ada pepatah Jawa, ‘Jer basuki mowo beo’. Maka sudah saatnya, eksekutif dan legislatif mempunyai persepsi yang sama, meletakkan K3 pada porsi yang seimbang dengan persoalan-persoalan bangsa yang perlu pembenahan.

Langkah nyata legislatif adalah segera bahas pengalokasian dana yang memadai dan perhatian yang lebih pada pekerja produktif dan rakyat pada umumnya, agar terlindungi dari celaka dan kematian. Jangan khawatir pada protes rakyat, kaena ini menyangkut 32 juta pekerja (2011). Upaya lain adalah segera revisi UU No. 1 Thn. 1970, karena sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.

Sudah saatnya pemimpin tertinggi bangsa ini menaruh perhatian secara khusus pada persoalan bangsa yang satu ini. Jangan sampai terkalahkan oleh berbagai kepentingan. Segera, karena hari ini ada 30-an pekerja produktif yang meninggal, meninggalkan berbagai persoalan pada istri dan anak-anaknya.

Jadikanlah rakyat ini bangga pada pemimpinnya yang menaruh perhatian pada nyawa rakyatnya. Sehingga, ketika kita berkunjung atau berada di negara-negara lain akan mendapat simpati, karena pemimpinnya –sebagai representasi bangsa– menaruh perhatian pada nyawa rakyatnya. Bukankah ini sebuah peradaban?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *