Bicara dunia ketenagalistrikan tidak bisa dilepaskan dengan PT PLN (Persero) atau PLN, termasuk dalam urusan pengelolaan lingkungan hidup. Tantangan terbesar dalam mengelola lingkungan ketenagalistrikan saat ini adalah mencari alternatif pembangkit listrik berbahan bakar non fosil.
Jakarta, katigamagz.com – Untuk mengetahui lebih jauh ihwal lingkungan ketenagalistrikan, KATIGA berkesempatan bincang-bincang dengan Vice President (VP) Lingkungan PLN, Ajrun Karim. Laki-laki kelahiran Jakarta, 44 tahun lalu yang memulai karir di PLN sejak tahun 2002 ini sudah terhitung lama berkecimpung di bidang K3, Keamanan dan Lingkungan (K3L) atau HSSE (Health Safety Security and Environment).
Mengawali karir sebagai staf sampai supervisor di PLTA Brantas, Ajrun lalu dipercaya menjadi manajer pertama di PLTA Cirata dan sempat menjabat sebagai manajer PLTU Tanjung Jati B Unit 3-4. Ia juga pernah menjabat Direktur SDM di PLTU Jawa 7 Serang, Banjarnegara, Banten. Bukan hanya itu, ia pernah berkarir di PJB pusat selama 5 tahun sebagai Kepala Divisi K3L di Surabaya, dan sejak 1 Maret 2019, ia ditetapkan sebagai Vice President (VP) Lingkungan di PLN Kantor Pusat. Kemudian menjadi GM Bangka Belitung dan saat ini sebagai EVP Manajemen Stakeholder dan BOD Support PLN Kantor Pusat.
Menurut Ajrun, pengelolaan lingkungan sendiri menjadi masalah yang kompleks karena merupakan amanah Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. PLN sebagai operator ketenagalistrikan wajib menyelenggarakan usaha operasional yang aman, handal, efisien dan ramah lingkungan. Terkait dengan ramah lingkungan maka sesuai proses bisnis ketenagalistrikan, mulai dari pembangkitan, transmisi dan distribusi harus patuh terhadap regulasi terkait pengelolaan lingkungan. Konteks lingkup pengelolaan lingkungan dari masing-masing proses bisnis tersebut juga berbeda-beda. Tantangan lingkungan yang sangat kompleks dan sesuai skala prioritas saat ini adalah di proses bisnis pembangkitan tenaga listrik.
Terkait tantangan pengelolaan lingkungan di proses bisnis pembangkitan ini Ajrun mengibaratkan minum ‘antimo’, harus tahan atau berupaya melakukan pengendalian pencemaran di darat, air dan udara. Di air, misalnya, PLN dulu mengupayakan IPLC (Izin Pembuangan Air Limbah Cair) sebagai bentuk pengendalian pencemaran air, di udara ada pemantauan dan pengendalian emisi, di darat PLN dulu mengupayakan izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), diantaranya fly ash dan bottom ash (FABA) PLTU, walaupun saat ini FABA sudah dikeluarkan dari limbah B3 melalui semangat Undang- Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021.
Terbitnya PP No. 22 Tahun 2021 (Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) sebagai pengganti PP No. 27 Tahun 2012 (Izin Lingkungan), PP No. 41 tahun 1999 (Pengendalian Pencemaran Udara), PP No. 82 Tahun 2001 (Pengendalian Pencemaran Air) dan PP No. 101 Tahun 2014 (Pengelolaan Limbah B3), memberikan tantangan baru dalam pengelolaan lingkungan. Misalnya perubahan status FABA PLTU dari Limbah B3 (kode limbah B409 dan B410) menjadi limbah non B3 terdaftar (kode limbah N106 dan N107) memberikan tantangan untuk pemanfaatan FABA lebih luas dibandingkan saat menjadi limbah B3 yang membutuhkan perizinan.
Tantangan lainnya adalah bagaimana melakukan perubahan persetujuan lingkungan (yang merupakan integrasi izin lingkungan dan izin PPLH). Selain itu ada proses persetujuan teknis misalnya untuk pengelolaan air, udara dan limbah B3. Semua tantangan itu menuntut adaptasi dari pengelola lingkungan diseluruh PLN.
Menekan Efek Gas Rumah Kaca
Dalam pengelolaan lingkungan, ada dua hal yang menjadi pertimbangan antara aspek ekonomi dan ekologi, terang Ajrun. Artinya secara ekologi diharapkan ada sustainability lingkungan yang mempunyai daya dukung untuk men-support proses kinerja produksi ketenagalistrikan. Secara ekonomi berusaha menggali, memanfaatkan semaksimal mungkin potensi-potensi sumber daya alam yang bisa dioperasikan, seperti bahan bakar, air, udara, dan lain-lain.
Isu lingkungan yang terus menguat, adalah tentang perubahan iklim sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Salah satu upaya PLN adalah dengan meningkatkan bauran energi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan memaksimalkan energi baru terbarukan (EBT) dan mengurangi penggunaan pembangkit thermal atau PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).
“Saat ini 60 persen pembangkit di PLN masih menggantungkan PLTU terutama yang menggunakan batubara. Affordable menjadi salah satu alasan PLN masih banyak menggunakan PLTU,” ujar Ajrun.
Ke depan PLTU akan dikurangi untuk menekan efek gas rumah kaca sejalan dengan program dunia dan pemerintah. Di simpul ini, PLN membuat road map sampai tahun 2060 terkait program dekarbonisasi dan zero emisi. Jadi di tahun 2025 PLN stop membangun PLTU dan di tahun 2030 memulai pengurangan terkait gigawatt-nya secara bertahap serta mengoperasikan pembangkit yang super critical dan ultra super critical yang ramah lingkungan.
Selain itu, PLN juga melakukan carbon offset dan carbon trading sebagai bentuk keikutsertaan PLN dalam program pemerintah sebagai bagian dari program pengurangan karbon (dekarbonisasi). Jadi pembangkit-pembangkit thermal yang melebihi batas emisi dari peraturan Kementerian ESDM akan men-support dengan membeli ke pembangkit lain yang cara beroperasinya lebih efisien, ramah lingkungan dan yang tidak melebihi emisi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
FABA untuk Projek Strategis Nasional
Selanjutnya terkait limbah fly ash dan bottom ash (FABA), PLN mendapat dukungan untuk melakukan optimasi pemanfaatan FABA dari hasil pertemuan Menteri LHK dan Direksi PLN sesuai dengan hasil uji akademik yang bisa dipertanggungjawabkan secara de facto dan uji secara akademis bahwa FABA bukan limbah B3 lagi. Hal itu sejalan dengan PP No. 22 tahun 2021 lampiran 4 tabel XIV. “Hasil studi empiris dari beberapa negara lain pun menyatakan bahwa FABA tidak masuk dalam limbah B3,” imbuhnya.
PLN berkomitmen seiring dan sejalan menjaga daya dukung alam. Selama ini, jumlah FABA pertahun cukup melimpah, dikelola di sentra-sentra pembangkit.
“Tentang FABA ini, kami memiliki beberapa kajian referensi yakni diantaranya SNI 2460-2014 dan ASTM C-618 yang menyatakan bahwa FABA mengandung Pozollan dan senyawa silica yang bisa dimanfaatkan untuk bahan baku semen dan mengurangi penggalian atau penambangan pasir. Jadi FABA ini bisa dipersepsikan dari limbah menjadi berkah karena sifatnya yang bisa dimanfaatkan kembali,” jelas laki-laki yang sedang menyelesaikan studi S3 PSDM di Universitas Airlangga.
Saat ini, lanjut ia, sedang disusun terkait dengan peraturan pengelolaan FABA dan akan diupayakan kerjasama antar Kementerian/Lembaga yang terkait diantaranya KESDM, KPUPR, Kementerian Perindustrian dan tentunya KLHK. Kami juga menjajaki kerjasama dengan perusahaan BUMN Karya terkait pemanfaatan FABA untuk proyek strategis nasional. Melakukan lomba desain rumah sehat, murah dan hygienis berbahan dasar FABA untuk masyarakat umum dan mahasiswa.
“Kami ingin menunjukkan bahwa FABA bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi dan sumber dayanya melimpah,” tegas Ajrun. Salah satu contoh pemanfaatan di bidang konstruksi yaitu jembatan Suramadu dan FABA juga sudah dimanfaatkan untuk beberapa konstruksi gedung dan bangunan besar lainnya, imbuh ia.
Kinerja Lingkungan (PROPER)
Pengaruh lingkungan terhadap PLN dalam proses bisnis yakni jika airnya bersih, udaranya bersih memiliki daya dukung untuk memperlancar produksi listrik. Jadi lingkungan menjadi faktor utama untuk optimalisasi proses bisnis PLN.
Sesuai Permen LHK No. 1 tahun 2021 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Perusahaan (Proper) merupakan salah satu instrumen pemerintah dalam hal ini KLHK untuk recognize atau pengukuran dan pengakuan dari pemerintah menjalankan aspek lingkungan sesuai regulasi. Dan pembangkit PLN sudah masuk dalam kriteria pembangkit yang baik secara jumlah dan capaian. Jadi di PLN sudah tidak ada lagi capaian proper yang merah atau hitam. Sekarang minimal kami mendapat proper biru, hijau dan emas.
Terkait pengelolaan lingkungan, PLN menggunakan ISO 14001:2015 yang menjadi strength point. Artinya saling sinergi dengan sistem manajemen lain yang hampir bisa dipastikan ada komitmen manajemen untuk menjalankan upaya perbaikan berkelanjutan, evaluasi dan pengukuran serta dalam aspek lingkungan yakni upaya pencegahan pencemaran, jelas Ajrun yang memiliki hobi sepak bola, lari, memelihara ayam, kucing dan bercocok tanam.
Program
Secara umum program lingkungan itu mempunyai dua amanah, pertama harus memenuhi peraturan baku mutu lingkungan. Kedua melakukan sesuatu (melebihi yang dipersyaratkan – beyond compliance) sebagai bentuk komitmen PLN untuk mendukung keberlanjutan lingkungan, seperti, program go green, kali bersih, penghijauan, pemberdayaan masyarakat dan lain sebagainya. Selanjutnya adalah melakukan program-program yang menjadi golden program di luar program inti dan bersifat voluntary, penerapan teknologi terbaru dalam PLTU yang ramah lingkungan.
Selain itu ada golden program yang harus dijalankan contohnya, gas rumah kaca, carbon market, carbon offset dan lain sebagainya. Semua program ini dalam rangka mendukung operasional PLTU, terang laki-laki penyuka makanan tempe dan pecel ini.
Sejauh ini, lanjut Ajrun, kendala yang dihadapi adalah, pertama, persepsi regulasi. Tidak jarang persepsi itu menjadi persepsional, artinya di lapangan bisa diterjemahkan dalam sudut pandang masing-masing terutama ketika berhadapan dengan dinamika personil di lapangan. Kedua, dari aspek penegakan hukum perlu mendapat perhatian dan menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Terakhir, pemahaman dan awareness personil tentang lingkungan yang beragam.
Pemilik falsafah hidup “urip iku urup” (artinya: sebaik-baiknya orang yang berguna adalah orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain) ini berharap, PLN bisa bertumbuhkembang secara baik dengan memerhatikan lingkungan dan mendapat dukungan dari stakeholder terkait seperti kementerian, lembaga dan regulasi sebagai produk hukumnya yang bisa membuka ruang untuk memaksimalkan potensi lingkungan. Kedua, membangun persepsi masyarakat tentang budaya sadar green electric ke depan. Mungkin pembangkit listrik energi baru terbarukan akan terus berkembang, pungkas laki-laki yang lahir di Jakarta, 9 Maret 1977 dan besar di Jember ini.
