Jakarta, katigamagz.com – Selama ini masyarakat industri lebih banyak mengekspos kecelakaan dari pada penyakit akibat kerja atau PAK. Apalagi di masyarakat umum, tahunya hanya kecelakaan kerja karena secara kasat mata kejadian celaka itu bisa terlihat. PAK nyaris tidak pernah ada yang menyuarakan bahkan, bisa jadi, orang yang terpapar pun tidak tahu penyakit yang diderita.
Tentang ini Koordinator Pemeriksaan Norma K3 Kemnaker DR. dr. Sudi Astono, MS tidak menampiknya. “Kecelakaan kerja bisa langsung terlihat, karena kecelakaan kerja sifatnya terjadi secara tiba-tiba. Tetapi kalau penyakit akibat kerja dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan prosesnya memakan waktu,” terangnya saat bincang-bincang dengan KATIGA di kantor Kemnaker, Jakarta beberapa waktu lalu.
Proses panjang dan tidak sederhana inilah membuat program PAK–yang menjadi hak pekerja atas kesehatan selama bekerja maupun setelah pensiun–banyak terabaikan. Salah satu penyebabnya, adalah terkait proses identifikasi. Penyakit akibat kerja itu harus diidentifikasi dulu oleh team yang paham tentang occupational health (kesehatan kerja), kemudian harus ada dua bukti yakni bukti pertama adalah yang bersangkutan sakit dan bukti kedua harus ada dua penyebab yang terukur. Kedua bahan bukti tersebut selanjutnya dianalisa dan dijustifikasi oleh dokter ahli di bidang kesehatan kerja untuk menentukan kebenaran PAK.

Jumlah Klaim PAK Sangat Kecil
Salah satu indikator pelaksanaan kesehatan kerja di perusahaan adalah seberapa besar total klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) BPJS Ketenagakerjaaan selama satu tahun. Faktanya jumlah PAK yang ditemukan atau diidentifikasi sangat sedikit dibandingkan kasus kecelakaan kerja, kecelakaan kerja yang dilaporkan jauh lebih besar. Menurut data BPJS Ketenagakerjaan jumlah klaim penyakit akibat kerja sangat sedikit.
Berdasarkan data dari BPJS Ketenagakerjaan periode Oktober 2023 tercatat 644 pekerja yang menderita penyakit akibat kerja, sementara data kecelakaan kerja yang dilaporkan telah mencapai 167 ribu pekerja. Dengan kata lain jumlah penyakit akibat kerja hanya 0,4% dari angka kecelakaan kerja.
PAK sendiri di Indonesia jika merunut perbandingan/komparasi secara global berdasarkan data ILO ada sekitar 35% lebih dari total kasus PAK. Pekerja di Indonesia sendiri yang mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan baru sekitar 30%.
“Jika merujuk pada data ILO tersebut maka penyakit akibat kerja di Indonesia bisa dikatakan silent,” tegas dr. Sudi.
Konsekuensi dari minimnya pemahaman PAK adalah soal kompensasi. Jika merunut pada Undang-Undang No. 44 Tahun 2015 baik penyakit akibat kerja maupun kecelakaan kerja ada kompensasi yang harus diberikan jika pekerja sudah menjadi peserta dari BPJS Ketenagakerjaan, ungkapnya lagi.
Persoalan lain, semua perusahaan ingin zero atau nihil penyakit akibat kerja sehingga menyembunyikan kasus penyakit akibat kerja. Maka disini peran advokasi juga sangat penting. Cara pandang menyembunyikan kasus penyakit akibat kerja tersebut harus dihilangkan, karena perilaku ini akan merugikan perusahaan itu sendiri. Jika tidak segera ditangani, tidak tahu berapa jumlah pekerja yang terkena dampak penyakit akibat kerja dalam jangka panjang bisa menyebabkan kerugian bagi perusahaan karena produktivitas pekerja menurun.
Mengutip dari webinar yang diselenggarakan Asosiasi Profesi Pertambangan Indonesia (APKPI) atas dasar data WHO/ILO tahun 2000-2016 dr. Liem Jen Fuk mengatakan bahwa kematian yang timbul pada tahun-tahun tersebut 81% disebabkan oleh penyakit yang tidak menular. Ada 19% occupational risk factor atau bahaya potensial di tempat kerja yang berhubungan dengan angka kematian. Contoh penyakit tidak menular yang menyebabkan kematian seperti asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), penyakit jantung, stroke dan kanker.
Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Banyak diantara para pekerja yang belum memahami penyakit yang dialami, termasuk kategori PAK atau penyakit biasa. Pasalnya, seseorang bisa dikategorikan PAK harus melalui diagnosis dan ditetapkan melalui tujuh langkah diagnosis. Ketujuh langkah itu mencakup penentuan diagnosis klinis, mengidentifikasi pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja, penentuan hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis, besarnya pajanan, adakah faktor dari individu yang berperan, memastikan tidak ada faktor lain yang berpengaruh diluar pekerjaan utama, dan terakhir adalah penentuan diagnosis okupasi.
Berbagai penyakit akibat kerja tersebut hanya dapat didiagnosis oleh dokter spesialis okupasi. Berbeda dengan diagnosis penyakit pada umumnya, diagnosis penyakit akibat kerja mempunyai aspek medis, aspek komunitas dan aspek legal. Dilakukannya diagnosis akibat kerja merupakan dasar tatalaksana penyakit di tempat kerja, membatasi kecacatan dan mencegah kematian, melindungi pekerja lain dan memenuhi hak pekerja.
Daftar penyakit akibat kerja yang ditetapkan dalam sistem hukum internasional dan nasional telah memainkan peranan penting baik dalam pencegahan maupun kompensasi penyakit pekerja.
Lalu apa saja penyebab penyakit akibat kerja? Menurut dr. Sudi ada 5 faktor bahaya yang mempengaruhi penyakit akibat kerja yakni fisik, kimiawi, biologi, ergonomi dan psikososial. Kelima faktor bahaya tersebut bisa saja semuanya ada di tempat kerja di suatu perusahaan.
Mencegah Lebih Baik
Pekerja berhak mendapatkan edukasi baik itu pemahaman akan hak-haknya dan edukasi terkait K3. Pekerja juga harus memahami esensi dari Undang-Undang No 1 Tahun 1970 yakni pekerja berhak menolak pekerjaan apabila syarat-syarat K3nya tidak dipenuhi dan tidak boleh di PHK atau diberikan sanksi oleh perusahaan.
Menurut Suma’mur secara teknis aktivitas pencegahan adalah pengenalan risiko bahaya pekerjaan dan lingkungan kerja terhadap kesehatan beserta pengukuran, evaluasi, dan upaya pengendaliannya, pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pra penempatan, berkala dan khusus; subsitusi bahan dengan yang kurang pengaruh negatifnya kepada tenaga kerja; isolasi operasi atau proses produksi yang berbahaya; dan pemakaian alat proteksi diri.
Untuk mencegah penyakit akibat kerja perusahaan harus konsen melakukan pencegahan dan perbaikan jika ada faktor penyebab terjadinya PAK tersebut. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah komitmen dan keseriusan dari tim K3 di perusahaan. Edukasi terkait penyakit akibat kerja harus dilakukan kepada semua stakeholder terkait.

