Bicara visual berarti bicara rasa. Ketika pengetahuan K3 disajikan tanpa sentuhan visual yang menggugah, pesan itu kehilangan nyawa. Tak ada daya tarik, tak ada rangsangan emosi. Inilah ironi terbesar dalam kampanye K3—bukan karena substansinya tak penting, melainkan karena cara penyampaiannya gagal menggugah.

Jakarta, katigamagz.com. Setiap kali kecelakaan pesawat terjadi, media berlomba-lomba menayangkannya. Visual dramatis, tangisan keluarga, hingga analisis teknis dari pakar keselamatan udara tersaji lengkap di layar kaca. Tapi ketika ribuan pekerja tewas setiap tahun akibat kecelakaan kerja, kamera seakan kehilangan daya rekamnya. Tak ada breaking news, tak ada headline. Kematian itu senyap. Tak bersuara. Tak dianggap. Inilah “The Silent Killer” — pembunuh yang beroperasi di tengah kebisuan publik dan sistem yang abai.
Pada 2023, tercatat lebih dari 8.000 pekerja di Indonesia kehilangan nyawa karena kecelakaan kerja. Angka itu setara dengan dua puluh dua nyawa hilang setiap hari. Namun, bandingkan dengan satu kecelakaan pesawat saja: headline besar, tayangan berulang, empati nasional. Ironis, kematian massal pekerja justru dianggap statistik belaka, bukan tragedi kemanusiaan.
Mengapa isu K3 tak pernah seksi di mata media? Sebagian jawabannya terletak pada minimnya akses informasi. Negara tidak menyiapkan desk informasi terkait kecelakaan kerja yang layak diakses publik. Perusahaan menutup pintu liputan dengan alasan reputasi dan izin internal. Wartawan kehilangan dasar hukum untuk meliput. Alhasil, kecelakaan kerja berhenti di meja laporan dan lembar administrasi — bukan di ruang publik tempat kesadaran bisa tumbuh.
Padahal, keselamatan dan kesehatan kerja bukan hanya urusan teknis atau kepatuhan regulasi. Ia adalah refleksi dari bagaimana negara menilai martabat tenaga kerjanya. Ketika kematian buruh tidak memancing empati, ketika tragedi di pabrik dan proyek hanya menjadi catatan BPJS, di sanalah kita kehilangan nurani kolektif. Kita membiarkan “The Silent Killer” hidup, diam-diam memangsa para pekerja di balik deru mesin dan debu konstruksi.
Kita tak butuh teori K3 dari luar negeri untuk menyadari betapa lemahnya sistem kita. Setiap kematian pekerja seharusnya menjadi pelajaran publik, bukan sekadar arsip. Tapi selama tragedi itu tidak memiliki nilai berita, tak memiliki “rasa”, media dan masyarakat akan terus berpaling. Di sinilah letak tanggung jawab bersama — pemerintah, perusahaan, jurnalis, dan masyarakat — untuk memecah keheningan itu.
Karena “The Silent Killer” bukan hanya tentang angka korban. Ia adalah cermin dari budaya abai yang menular: abai pada keselamatan, abai pada kemanusiaan. Dan selama kita membiarkan kematian pekerja berlalu tanpa suara, kita semua sebenarnya sedang menjadi bagian dari pembunuhan itu — secara diam-diam.
